Gerilyawan Revolutionary Struggle, Pola Roupa, telah dibebaskan dari masa penahanannya.
Revolutionary Struggle berada di garis depan perjuangan komunis anarkis dalam gerakan revolusioner internasionalis. Mereka adalah organisasi yang bertindak dengan jelas, metodis, dan cerdas dalam merespons gempuran kapitalisme pada momen unipolar, dan penindasan yang mereka hadapi memiliki ramifikasi lokal dan global.
Pola dibebaskan bersyarat karena memiliki seorang anak yang masih kecil, tetapi partner dan sesama revolusionernya, Nikos Maziotis, masih berada dalam tawanan musuh.
Di bawah ini kami akan memublikasikan pernyataan Pola sejak dia dibebaskan:
“17 November 2023. 50 tahun sejak pergolakan Polytechnic 1973 dan saya dibebaskan.
Setelah 7 tahun penjara berturut-turut (ditangkap pada tanggal 5/1/2017), 8,5 tahun bersama dengan penahanan pra-persidangan (ditangkap pada tanggal 10/4/2010), dan 13,5 tahun secara keseluruhan, hukuman yang saya jalani karena partisipasi saya dalam Revolutionary Struggle, saya dibebaskan dari penjara. Simbolisme hari itu sangat kuat karena 17 November tahun ini menandai peringatan 50 tahun pergolakan Polytechnic 1973. Pada hari itu, semua orang mengenang para korban yang tewas di Polytechnic dan juga semua orang yang gugur dalam perjuangan untuk kebebasan.
Dalam pikiran saya, hari itu didominasi oleh kenangan akan kawan kami yang telah meninggal semasa Revolutionary Struggle, Lambros Foudas. Tetapi, dalam pikiran saya juga teringat akan kawan Nikos Maziotis, yang terlepas dari kenyataan bahwa dia telah menjalani 11 tahun penjara ‘tertutup’ dan 14 tahun penjara campuran – periode waktu yang terlalu lama untuk hukuman 20-tahun –, dewan yudisial Lamia menolak untuk membebaskannya.
Sekarang jelas bahwa status pengecualian yang unik telah diberlakukan pada Nikos Maziotis karena tidak ada tahanan dengan kasus yang serupa (dakwaan berdasarkan 187 A) dan dengan hukuman yang serupa (yaitu, tidak ada hukuman seumur hidup) yang tetap berada di penjara untuk waktu yang lama.
Rezim pembebasan yang didasarkan pada kriteria dan motif politik dan yang dalam praktiknya meniadakan institusi pembebasan bersyarat yang menurut hukum adalah wajib dan tidak ‘serampangan’, tidak diserahkan pada kehendak personal hakim yang bersangkutan, rezim pembebasan ini harus dihentikan. Selain pelanggaran hak-hak yang terang-terangan, rezim pembebasan khusus ini mengingatkan kita pada perlakuan bergaya-junta terhadap tahanan politik.
Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara, bohong jika saya mengatakan bahwa saya tidak memikirkan lusinan tahanan perempuan yang pernah tinggal bersama. Mengenai publikasi – yang saya yakini tidak sengaja – yang ‘menemukan’ bahwa saya dibebaskan dari penjara karena saya adalah ibu dari seorang anak di bawah umur, saya harus mengatakan bahwa selain fakta bahwa saya telah menjalani masa tahanan yang diperlukan untuk pembebasan bersyarat, tidak ada ketentuan dalam hukum pidana yang membebaskan narapidana dengan pembebasan bersyarat karena ia adalah ibu dari seorang anak di bawah umur. Hanya pasal 105 dari Criminal Code of 2019 yang mengatur penahanan rumah untuk ibu dengan anak di bawah usia 8 tahun, sebuah tindakan yang tidak diterapkan secara khusus.
Setelah tinggal bersama para perempuan selama bertahun-tahun, saya tahu bahwa sebagian besar dari mereka memiliki peran sentral sebagai pengasuh bagi orang-orang seperti anak-anak di bawah umur, orang tua, orang sakit, penyandang disabilitas, dan penahanan mereka yang berkepanjangan memiliki impak yang buruk bagi kehidupan mereka yang hidup sendiri tanpa bantuan mereka.
Pemberhentian bersyarat bagi ibu dari anak di bawah umur dan bagi perempuan yang mengasuh kategori orang seperti yang saya sebutkan di atas, adalah provisi yang absennya dalam kriminal pidana menunjukkan bahwa legislator tidak memperhitungkan posisi vital perempuan-pengasuh dalam kehidupan sosial. Ini adalah kekurangan yang sering kali mengorbankan nyawa.”
Via: Abolition Media